Tepat hari ini, Kamis, tanggal 17 Agustus 2023 merupakan peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke 78. Lebih dari tiga per empat abad Indonesia merdeka. Umur yang sudah cukup tua bagi manusia saat ini. Namun, bagi ukuran suatu negara, umur tersebut relatif muda, bila dibandingkan dengan negara seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diraih 78 tahun, bukan tanpa jerih payah perjuangan. Perjalanan panjang Indonesia menuju titik kemerdekaan tidak dilalui dengan jalan yang mulus tanpa hambatan. Berbagai hambatan dan pertaruhan nyawa harus dihadapi. Butuh perjuangan sampai hilang nyawa. Hingga akhirnya, Soekarno dan Hatta menandatangani naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945. Naskah Proklamasi kemudian dibacakan oleh Soekarno, pada Pukul 10.00 WIB.
Proklamasi dan Negara Baru
Proklamasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya adalah pemberitahuan resmi kepada seluruh rakyat; pemakluman; pengumuman. Artinya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan tanggal 17 Agustus 1945 adalah memberitahukan atau mengumumkan bahwa telah lahir suatu negara baru, yaitu Negara Indonesia. Peristiwa Proklamasi tersebut merupakan gerbang baru. Gerbang lahirnya suatu negara baru yang merdeka dan berdaulat.
Hans Kelsen menyatakan bahwa ada berbagai unsur terbentuknya negara baru. Salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah terjadinya revolusi hukum (Diniyanto, 2018). Revolusi menurut KBBI salah satu artinya adalah perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang. Artinya, revolusi hukum adalah perubahan yang cukup mendasar dalam bidang hukum. Perubahan tersebut, bukan perubahan yang lamban, melainkan perubahan yang sangat cepat.
Revolusi hukum seperti apa dalam kaitan lahirnya Negara Indonesia? Revolusi hukum yang dimaksud adalah perubahan secara cepat dan signifikan dari hukum lama ke hukum baru. Artinya, perubahan mendasar secara cepat dan siginifikan dari hukum kolonial ke hukum nasional. Hukum kolonial yang diskriminatif berubah menjadi hukum nasional yang anti diskriminatif.
Selama masa kolonial, hukum yang diberlakukan adalah hukum yang diskriminatif. Hukum seperti itu jelas sulit untuk memenuhi kesetaraan, yang ada adalah kesenjangan semakin lebar. Hukum yang diskriminatif juga tidak mungkin menciptakan keadilan, karena tidak ada akses yang setara. Sudah pasti, hukum yang diskriminatif tidak bisa menghadirkan kesejahteraan, karena tidak ada keadilan dan kesetaraan. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah melahirkan hukum baru yaitu hukum nasional. Tentu lahirnya hukum nasional harus memberikan kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan.
Penegakan Hukum
Pertanyaannya adalah, apakah hal tersebut sudah terwujud? Indonesia di usia 78 tahun tentu telah melewati dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk juga dinamika dalam menjalankan hukum. Terlebih sejak adanya amandemen konstitusi. Indonesia telah secara tegas menyatakan sebagai negara hukum. Konsekuensi dari negara hukum. Pelaksanaan penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum. Kehidupan berbangsa dan bernegara juga harus mematuhi hukum yang berlaku. Negara hukum juga harus menjamin penegakan hukum yang setara dan adil.
Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa sistem hukum dapat berjalan tanpa saling tumpang tindih, sehingga melahirkan penegakan hukum yang baik. Penegakan hukum tersebut dapat terwujud apabila antara substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum sama-sama berjalan dengan baik (on the track). Tidak saling tumpang tindih dan tidak lumpuh satu sama lain (Friedman, 1975).
Indonesia, dalam tataran substansi hukum telah melakukan berbagai perbaikan. Amandemen konstitusi juga telah mempu mendorong reformasi berbagai instrumen hukum. Berbagai aturan hukum dibawah konstitusi diperbaiki, agar sesuai dengan konstitusi. Tentu tujuan reformasi instrumen hukum agar mampu mewujudkan kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan. Mungkin sudah banyak instrumen hukum yang bagus. Walaupun juga tidak menutup kemungkinan, masih ditemukan instrumen hukum yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat. Ini tentu dapat dilakukan evaluasi dan perbaikan.
Begitu juga dengan struktur hukum. Badan penegak hukum di Indonesia juga telah melakukan banyak reformasi, sehingga menjadi penegak hukum yang baik dan modern. Lagi-lagi, mungkin tidak sempurna. Karena mungkin masih ada oknum penegak hukum yang belum berjalan secara on the track. Ini juga harus ada evaluasi berkala, agar penegak hukum di negeri ini mampu menegakan hukum sesuai dengan jalur yang tepat.
Budaya hukum juga tidak kalah penting dalam penegakan hukum. Budaya hukum masyarakat di Indonesia juga semakin hari semakin lebih baik. Masyarakat juga sudah terbiasa menghormati putusan pengadilan, walaupun mungkin tidak sesuai dengan hati nurani. Masyarakat juga sudah banyak yang melek hukum, sehingga lebih menggunakan instrumen hukum dalam penyelesaian persoalan di masyarakat. Bukan dengan kekerasan. Tentu masih ada kekurangan, karena mungkin masih ada masyarakat yang belum melaksanakan hukum dengan baik. Tapi itulah dinamika di masyarakat. Karena, sepertinya relatif sulit mewujudkan kondisi ideal, dimana semua masyarakat patuh dan taat hukum, tanpa terkecuali.
Tetapi, poin yang ingin penulis sampaikan adalah terkait dengan tugas kita. Melihat penegakan hukum yang baik dapat terwujud apabila ada substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Artinya tugas penegakan hukum adalah tugas kita bersama, walaupun ada porsi masing-masing. Misalnya antara penegak hukum dengan masyarakat, yang mempunyai tugas masing-masing dalam penegakan hukum.
Momentum peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia harus menjadi refleksi dalam penegakan hukum. Bahwa penegakan hukum adalah tugas kita bersama sesuai dengan porsinya. Oleh karena itu, melalui peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia kita harus bersama-sama selalu melakukan penegakan hukum sesuai dengan porsi masing-masing. Tujuannya agar terwujud penegakan hukum yang tidak diskriminatif. Penegakan hukum seperti ini akan mampu mewujudkan kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Dosen Hukum Tata Negara UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan