Pemuda dan Masa Depan Bahasa Indonesia

Catatan sejarah menunjukkan bahwa pemuda selalu punya andil atas berbagai peristiwa besar di Indonesia. Salah satu produk sejarah monumental yang diukir oleh para pemuda antara lain Sumpah Pemuda. Pemuda, kala itu pada 28 Oktober 1928, menunjukkan taji progresivitasnya dengan bertukar gagasan melalui pleno yang digelar dalam dua hari berturut-turut. Melalui momen akbar tersebut, kita, generasi yang saat ini rutin memperingatinya, seakan terus didorong untuk menghayati dan meniru kiprah generasi ini, walaupun kiwari eranya sudah jauh berbeda dengan apa yang pernah direkam oleh sejarah.

Salah satu rumusan yang dihasilkan dalam rapat Sumpah Pemuda menahbiskan posisi bahasa Indonesia sebagai identitas pemersatu bangsa yang termaktub lewat ikrar poin ketiga. Sebagai warga negara, tentu timbul dorongan rasa cinta kepada persatuan bangsa melalui penggunaan bahasa atas rumusan itu. Rumusan ikrar ketiga juga menjadi semacam tonggak atau penanda sejarah baru dalam perkembangan bahasa Indonesia sejak prakemerdekaan hingga sekarang. Meskipun sebetulnya ruh bahasa Indonesia sudah lama terbentuk melalui bahasa Melayu, tetapi secara yuridis, pemuda turut membidani kelahiran bahasa Indonesia lewat deklarasi Sumpah Pemuda.

Kontribusi Progresif

Dalam konteks kekinian, penulis menemukan kiprah pemuda hari ini yang bertemali dengan pemuda masa lalu. Identitas pemuda, kapan pun tempo dan lokusnya, memiliki fitur identik yang melekat meski zaman sudah berubah. Kekompakan misalnya. Pemuda cenderung bergerak secara kreatif dan kolektif. Pola gerakannya ingin selalu terlepas dari bayang-bayang generasi pendahulu agar punya sisi independensi. Hal demikian diperkuat oleh argumen Muzakki dalam penelitiannya tentang Pola Komunikasi Gerakan Pemuda. Menurut Muzakki (2022) independensi kaum muda sejak dulu tercermin dari pola interaksi yang dibangun secara nonformal dan tanpa sekat kepada setiap anggota. Dengan komunikasi yang luwes dan lintas batas ini, kebebasan gerak pemuda mampu terjaga dengan baik.

Baca juga:  Proklamasi dan Penegakan Hukum di Indonesia

Pola gerakan demikian itu, yang merupakan peninggalan pemuda terdahulu, tetap terawat oleh komunitas pemuda hingga sekarang. Namun patut disayangkan, semangat kolektivitas yang diwariskan belum diaktualisasi dengan jernih oleh generasi kini. Sepengamatan penulis, ada ruh yang hilang dari kesadaran kolektif para pemuda hari ini. Jiwa transformatif yang bermuara pada perubahan berskala besar jarang penulis dapati. Pemuda sekarang, justru punya konsen kepada ekspresi yang bersifat normatif dan dalam skala sempit, atau dengan eufemisme “wani perih” kepada hal-hal yang sifatnya untuk penghiburan diri pribadi.

Pemuda adalah generasi kreatif pencipta gagasan segar. Kendati hari ini banyak kemerosotan peran dan dicap individualis, penulis tidak memungkiri jika generasi muda cukup memberi “warna” pada bidang-bidang tertentu. Salah satunya adalah perkembangan bahasa. Pemuda turut mendorong perkembangan bahasa Indonesia yang digunakan oleh hampir 260 juta penutur. Tak sedikit perubahan dan perkembangan bahasa Indonesia yang bermula dari kaum muda, terutama terkait penambahan lema atau kosakata. Misalnya kosakata yang semula nonbaku, kini banyak yang diadopsi ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sehingga beralih menjadi bahasa baku.

Kemajuan teknologi dan informasi juga masifnya penggunaan platform silaturahmi maya, menjadi ruang ekspresi yang nyaman bagi generasi muda. Menurut survei yang dilakukan oleh dataindonesia.id pada 2022 lalu, pemuda, baik pada rentang usia 13-18 tahun maupun 19-34 tahun, merupakan generasi yang paling banyak menggunakan internet dan media sosial. Persentasenya mencapai 99,16% dari total pengguna internet di Indonesia. Tentu dengan jumlah yang demikian banyak menjadikan perilaku warganet, terutama kalangan pemuda, sangat unik dan menarik untuk dicermati saat memberikan komentar pada sebuah postingan di media sosial. Secara tidak langsung, kondisi demikianlah yang mendorong Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, melalui giat konsinyasi pemutakhiran II pada akhir Juli lalu, memasukkan kosakata hasil kreativitas para warganet dari kalangan pemuda itu ke dalam KBBI. Hasilnya, beberapa lema yang sebelumnya nihil dan hanya digunakan di ruang maya, kini sudah tersaji di dalam KBBI versi V.

Baca juga:  Menilai Dampak Implementasi CSR terhadap Kesejahteraan
Potensi Kekayaan

Upaya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang mengakomodasi lema atau kosakata baru hasil kreativitas para warganet ke dalam KBBI, perlu mendapat apresiasi penuh. Tentu dengan menggunakan lema-lema baru tersebut saat berkomunikasi, baik lisan maupun tulis, menjadi cara paling mudah sebagai wujud apresiasi. Perubahan dan upaya ini, perlu mendapatkan dukungan dari kita selaku penutur bahasa Indonesia.

Sebagai manusia, kita tidak boleh alergi terhadap perubahan, sebab sifat bahasa mudah sekali berubah (Chaer dan Agustina, 2004). Menimbang kedinamisan bahasa manusia, penambahan atau perubahan lema masih sangat potensial. Inilah peluang kekayaan dan daya tawar bahasa Indonesia, sebagai bahasa pemersatu dalam kehidupan kita, pun sebagai bahasa pergaulan global.

Selain pemutakhiran lema dalam KBBI yang diinisiasi oleh kreativitas pemuda, menurut penulis, Kongres Bahasa Indonesia juga bisa menjadi semacam langkah strategis dan diplomatis untuk mengukuhkan posisi, memperkuat konsep kebahasaan, sekaligus memperkaya kosakata. Adapun isu yang diketengahkan dalam kongres ini bervariatif. Berdasarkan pengamatan penulis, topik paling konsisten yang diangkat adalah terkait perencanaan dan kedudukan bahasa Indonesia, pendidikan dan pengajaran bahasa, serta sastra dan karya sastra. Kemudian isu berikutnya, pembahasan mengenai Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA), internasionalisasi bahasa Indonesia, uji kemahiran bahasa Indonesia, riset kebahasaan, bahasa di ruang publik, dan persoalan literasi, menjadi rentetan isu yang kerap diangkat dalam tiga periode terakhir pelaksanaan kongres.

Mengusung tema “Literasi dalam Kebinekaan untuk Kemajuan Indonesia”, Kongres Bahasa Indonesia yang dilakukan mulai 25-28 Oktober 2023 nanti di Jakarta, sudah memasuki gelaran ke-12 sejak kali pertama diselenggarakan pada 1938 silam. KBI XII ini juga akan menjadi semacam pertaruhan masa depan bahasa Indonesia yang ditentukan oleh para peserta yang ikut berkongres. Apakah hasil kongres nanti mampu memartabatkan kedudukan bahasa Indonesia di level internasional ataukah justru bahasa Indonesia akan tergerus oleh para penuturnya sendiri seiring perkembangan zaman? Tentu pemerintah punya andil besar untuk lebih tanggap dan adaptif menyikapi hal ini. Mari kita kawal bersama.

Baca juga:  Tentang Membaca dan Menulis
Share artikel ini

Tinggalkan komentar