Irisan Pemikiran Karl Marx dengan Nilai-nilai Ekonomi Islam

Semasa kuliah dulu, di sela mengerjakan tugas, seorang kawan berseloroh dengan nada guyon yang khas : “Weteng ngelih, pikiran ngalih” (perut lapar, pikiran-pun bergeser alias kacau). Selang kemudian ia menutup buku-bukunya dan mengajakku ke warung burjo. Aku terkekeh mendengar ungkapan jujur namun realistis itu. Ungkapan itu sejenak mengingatkanku akan pemikiran Karl Marx (1818 – 1883 M) tentang materialisme historis, yang dipengaruhi oleh filsafat Hegel dan Feuerbach.

Perut adalah sebentuk materi, sedangkan pikiran adalah perangkat untuk menghasilkan ide. Ungkapan kawan tersebut seolah menjadi contoh sederhana dari gagasan Karl Marx bahwa materi mendasari ide. Dengan kata lain, materi sebagai unsur primer dan ide menjadi unsur sekunder.  Pemikiran ini dipengaruhi dan sekaligus menjadi kritik bagi filsafat Hegel yang menyatakan bahwa ide-ide adalah primer, sedangkan materi adalah yang sekunder. Marx menjungkirbalikkan metode dialektika yang dipakai Hegel, dari dialektika-idealis menjadi dialektika-materialis. Marx berkeyakinan bahwa bukan kesadaran yang menentukan keberadaan manusia. Sebaliknya, keadaan sosial-lah yang menentukan kesadaran mereka. Inilah yang kemudian dikenal sebagai materialisme historis.

Bagi kebanyakan orang, pemikiran Karl Marx yang kemudian berkembang menjadi ideologi Marxisme-Leninisme hingga komunisme ini berada dalam hubungan diametral dengan Islam. Di Indonesia, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merupakan representasi dari Marxisme-Leninisme dan komunisme memiliki sejarah kelam dan mencekam, antara lain terjadinya pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan Gerakan 30 September 1965 atau dikenal sebagai G30S PKI. Hal ini menciptakan trauma berkepanjangan bagi  masyarakat Indonesia, tak terkecuali bagi umat muslim yang merupakan penduduk mayoritas.

Secara ideologis, Marxisme-Leninisme juga tidak mungkin dipertemukan dengan Islam. Marxisme-Leninisme, mengikuti pemikiran Karl Marx, didasarkan pada filsafat materialisme, di mana materi sebagai sebuah kenyataan yang niscaya dan pokok. Beda halnya dengan Islam, sekalipun dalam urusan duniawi, harus tetap mendasarkan dirinya pada spiritualisme dan keyakinan terhadap hal-hal gaib yang secara empiris tidak dapat dibuktikan. Tidak heran jika Marxisme-Leninisme senantiasa dihadap-hadapkan dan bahkan dibenturkan dengan Islam.

Baca juga:  Peran ZISWAF sebagai Instrumen Pemerataan Ekonomi di Indonesia

Namun demikian, tidak lantas menjadikan pemikiran Karl Marx sama sekali terlepas atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Misalnya, Gus Dur dalam tulisannya berjudul “Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme” menyebutkan bahwa pendekatan vocabularies of motive (keragaman motif) dari Bryan Turner dapat mengungkapkan adanya kesamaan orientasi antara pandangan kemasyarakatan Marxisme-Leninisme yang bersumber pada kolektivisme dan tradisi kesederhanaan hierarki dalam masyarakat suku yang membentuk masyarakat Islam yang pertama di Madinah di zaman Nabi Muhammad.

Lebih lanjut, Gus Dur menjelaskan bahwa orientasi tersebut dapat dilihat dari semangat egalitarianisme dan populisme dalam kedua sistem kehidupan tersebut. Orientasi kehidupan seperti itu akan membawa sikap untuk cenderung membentuk pola kehidupan serba senang kepada tindakan (action-oriented), dan menjauhi kecenderungan kontemplatif dan meditatif. Hal ini tercermin pula dalam rukun Islam (syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji) yang seluruhnya dapat diidentifikasi dengan tindakan.

Mengacu pada penjelasan Gus Dur tersebut, Penulis tertarik untuk mengungkap adanya irisan antara pemikiran Karl Marx dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Irisan (intersection) merupakan istilah dalam teori himpunan, yaitu wilayah yang mencakup anggota-anggota yang sama dari dua atau lebih himpunan. Dalam konteks bahasan ini, berarti ada bagian dari pemikiran Karl Marx yang memiliki kesamaan dengan nilai-nilai ekonomi Islam.

Kritik terhadap Praktik Riba dan Kapitalisme

Materialisme historis merupakan cara melihat ekonomi dalam konteks sejarah. Kata “historis” ditempatkan Marx dengan maksud untuk menjelaskan berbagai tingkat perkembangan ekonomi masyarakat yang terjadi sepanjang zaman. Salah satu yang dibahas adalah tentang praktik riba pada masa Romawi yang memainkan peranan penting dalam perkembangan kapitalisme. Praktik lintah darat ini memiliki pengaruh merusak kaum tani kecil, karena bukannya memenuhi kebutuhan rakyat jelata, para bangsawan justru meminjamkan uangnya dengan bunga yang luar biasa tinggi. Lambat laun kaum tani kecil mengalami kehancuran dan lahirlah ekonomi perbudakan murni. Praktik riba yang menimbulkan kezaliman dan bahkan perbudakan ini tentu dilarang dalam ekonomi Islam karena bertentangan dengan fitrah manusia.

Baca juga:  Sampah dan Pembudayaan Kesadaran Kolektif Masyarakat Pekalongan

Kapitalisme adalah pembahasan sentral yang dikritik oleh Marx. Basu (2023) menjelaskan bahwa Marx menyoroti aspek positif kapitalisme dibandingkan dengan mode produksi sebelumnya. Aspek positif ini menciptakan kekayaan yang sangat besar yang, jika didistribusikan dengan benar, dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar penduduk, namun hal ini tidak terjadi karena cara hubungan kapitalisme diorganisir. Terdapat aspek yang kontradiktif. Kapitalisme meningkatkan produktifitas tenaga kerja dan memungkinkan penciptaan kekayaan yang sangat besar, namun karena kapitalisme didorong oleh keuntungan dan bukan untuk memenuhi kebutuhan, hal itu tidak memenuhi kebutuhan sosial sistem.

Kritik ini memiliki irisan dengan semangat maqasid syariah terkait pemenuhan kebutuhan manusia. Maqashid syariah, sebagaimana dirumuskan oleh al-Juwaini dan kemudian dikembangkan oleh al-Ghazali dan juga al-Syatibi adalah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, yaitu dengan terpenuhinya kebutuhan manusia berdasarkan hirarki daruriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Hirarki tersebut menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan manusia dimulai dari kebutuhan yang paling pokok dan mendasar (daruriyat). Kebutuhan yang sifatnya hajiyat dan tahsiniyat berada di urutan selanjutnya setelah daruriyat terpenuhi. Mengacu pada maqasid syariah tersebut, ekonomi Islam haruslah berfokus pada pemenuhan kebutuhan manusia dan bukan semata-mata didasarkan pada profit oriented.

Konsep Nilai Lebih dan Akumulasi Kapital

Konsep nilai lebih (surplus value) diawali dengan pembahasan tentang nilai tukar komoditas. Ekonom Neoklasik memandang bahwa yang mendasari pertukaran adalah utilitas (kegunaan). Marx, sejalan dengan Ricardo dan Smith, memberikan jawaban yang berbeda, bahwa yang menjelaskan nilai tukar komoditas adalah jumlah relatif kerja yang digunakan untuk menghasilkan komoditas. Utilitas adalah fenomena subjektif, sedangkan kerja untuk memproduksi komoditas adalah realitas objektif.

Dalam kapitalisme, kelas pekerja menjual kemampuan kerjanya kepada kapitalis untuk upah. Marx ingin menunjukkan bahwa ketika kapitalis menggunakan tenaga kerja yang telah mereka beli dan memproduksi komoditas lalu menjualnya ke pasar, mereka (kapitalis) mampu mengambil lebih banyak nilai daripada yang dibayarkan kepada pekerja dalam bentuk upah. Inilah yang dimaksud oleh Marx sebagai nilai lebih. Lebih lanjut, Marx menjelaskan bahwa sebagian besar nilai lebih yang telah direalisasikan digunakan kembali dalam proses produksi untuk menghasilkan lebih banyak nilai lebih. Reinvestasi nilai lebih ke dalam proses produksi dengan tujuan menghasilkan lebih banyak nilai lebih adalah apa yang disebut Marx sebagai “akumulasi kapital” (Basu, 2023).

Baca juga:  Upaya Mewujudkan Keadilan Ekonomi melalui Zakat Saham

Dalam konteks ekonomi Islam, nilai lebih yang dimaksud Marx tersebut merupakan bentuk kezaliman dan eksploitasi. Dalam hal ini tenaga kerja dihargai lebih murah daripada yang seharusnya didapatkan oleh pekerja. Hak pekerja berupa “sebagian” upah yang tidak dibayarkan oleh kapitalis merupakan tindakan batil. Demikian pula, akumulasi kapital yang menjadi tujuan dari kapitalisme tidak sesuai dengan semangat ekonomi Islam dalam mewujudkan pemerataan distribusi, sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Hasyr ayat 7 yang artinya : “…agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”.

Share artikel ini

Tinggalkan komentar